Oleh :
Nurhadi Taha, S.Pd
Staf Pengajar di SMP Neg. 6 Kota Gorontalo
Dalam tulisan ini izinkan saya memulainya dengan sebuah kalimat yang
menjadi semboyan pejuang pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro yang
menyatakan“ semua orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah”.
Semboyan ini mempunyai beragam penafsiran dari kalangan pengamat dan
pemerhati pendidikan, ada yang menyatakan semboyan ini menandakan bahwa
belajar bisa dimana saja, tanpa mengenal waktu dan batas serta suku
adat dan istiadat. Selain itu ada juga yang menyatakan bahwa belajar itu
bukan hanya saja di kampus serta di sekolah yang formal tetapi di mana
saja kita harus belajar. Semua tafsiran diatas pada dasarnya memiliki
satu makna dengan substansi yang jelas yakni pentingnya setiap kita
untuk selalu belajar. Semboyan ini juga dapat disebut sebagai spirit
pendidikan, yakni spirit untuk memperbaiki kualitas out put pendidikan.
Berbicara tentang kualitas pendidikan, tentu tidak terlepas dengan
keberadaan guru sebagai garda terdepan dalam proses pendidikan. Guru
sejak zaman dulu merupakan profesi yang mulia dan terhormat yang tidak
semua orang mampu melakoninya. Namun seiring dengan perkembangan dan
tuntutan zaman, guru di Indonesia juga mengalami fase dan masa pasang
surut sesuai kondisi dan situasi yang berkembang. Untuk saat ini dan
kedepan, profesi guru kian berat dan penuh tantangan yang menuntut sikap
kreatifitas dan keteguhan untuk memberikan yang terbaik kepada anak
didik sebagai penerus bangsa. Salah satu asumsi mendasar dari pentingnya
kreatifitas guru adalah perkembangan dan kemajuan yang terus bergulir
yang tidak lagi mengenal kompromi dan selalu saja menghadirkan hal-hal
baru, kemajuan baru, penemuan – penemuan baru yang mau tidak mau harus
diikuti perkembangannya.
Profesi guru menurut undang – undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan dosen ( pasal 1ayat 1 ) dinyatakan bahwa “ guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar
dan pendidikan menegah. Dari amanat undang-undang ini jelas tersirat
bahwa profesi guru disatu sisi eksistensinya sangat vital bagi
kelangsungan kehidupan bangsa sehingga guru memiliki beban tugas dan
tanggung jawab yang tidak ringan terutama dalam mengaplikasikan tugas
dan tupoksinya di depan kelas, di lingkungan sekolah dan bahkan di
tengah masyarakat. Dalam kegitaan belajar mengajar misalnya, guru harus
membuat kalender pendidikan, menyusun program tahunan, program semester,
memetakan standar kompetensi , membuat silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang kesemuanya butuh waktu, materi dan konsentarasi.
Tidak heran jika saat ini, banyak guru yang hampir sulit untuk mencari
waktu senggang berkumpul dan bercengkarama dengan keluarga, kerabat dan
rekan sejawat mengingat waktunya banyak tersita untuk menyelesaikan
tugas-tugas sebagai pendidik yang terkadang harus dibawa pulang ke
rumah. Namun sayangnya dibalik tugas berat tersebut, profesi guru hingga
saat ini belum sepenuhnya mendapat porsi kebijakan yang ideal, justru
sebaliknya banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru
medekonstruksi bangunan kualitas pendidikan yang tengah dirintis oleh
guru dan masyarakat.
Dalam konteks lokal Provinsi Gorntalo misalnya, masih terdapat daerah di
tingkat Kabupaten yang belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan guru
dalam kebijakan pemerintahannya. Dalam soal anggaran pendidikan sebagai
contoh, meski Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) telah mengamantakan agar pemerintah mengalokasikan
anggaran minimal 20 persen dari APBN dan APBD, namun sampai saat ini
masih banyak daerah yang belum menggubrisnya. Padahal soal anggaran
pendidikan ini, pada tahun 2008, PGRI telah menggugat pemerintah melalui
Mahkamah Konstitusi yang dimenangkan oleh PGRI dengan amar putusan yang
jelas bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan
anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD sesuai amanat
konstitusi. Anggaran 20 persen yang dimaksud tidak termasuk didalamnya
alokasi gaji dan tunjangan guru.
Dalam program peningkatan kesejahteraan guru, setiap daerah di Kabupaten
dan Kota di Provinsi Gorontalo juga memiliki perbedaan standar
kebijakan. Sebagai ilustrasi, daerah yang memberi Tunjangan Kinerja
Daerah (TKD) kepada guru baru sebatas dua daerah yakni Kab. Gorontalo
dan Kab. Boalemo. Demikian juga dengan Tunjangan Guru terpencil, dua
daerah ini konsisten mengucurkan anggarannya setiap tahun. Tidak heran
pula dengan kebijakan yang berpihak pada guru ini, Kab. Gorontalo dan
Boalemo sejauh ini mampu memperlihatkan capaian kemajuan yang
menggembirakan.
Meski demikian secara umum boleh disebut bahwa selama ini, keberpihakan
pemerintah Provinsi maupun Pemerintahan Kabupaten terhadap profesi guru
masih belum memadai. Indikatornya dapat dilihat dari jumlah guru yang
Sarjana dan non sarjana yang masih terpaut jauh.
Dari total guru di Provinsi Gorontalo saat ini yang mencapai 25.614
orang masih sekitar 70 persennya yang belum memiliki kulifikasi S1.
Demikian pula, tunjangan guru honorer di Provinsi Gorontalo yang
rata-rata hanya pada kisaran Rp. 150 – 300 ribu sangat kontras dengan
tunjangan pejabat eselon I II dan III di Pemerintahan Provinsi yang
mencapai puluhan juta per bulannya.
Selain masih minim di bidang diregulasi, Guru juga menghadapi
persoalan dari luar semisal dari masyarakat itu sendiri. Tidak sedikit
di lingkungan masyarakat, sering terdapat ungkapan-ungkapan yang
menyakitkan berupa cemoohan dan tudingan lainnya yang menyerang guru
ketika anak mereka memiliki persoalan di sekolah atau tidak naik kelas
maupun tidak lulus.
Begitu juga dari kalangan bisnis / industrialis yang masih sering
terdengar melakukan protes kepada para guru karena kualitas para lulusan
pendidikan yang masih kurang memuaskan bagi kepentigan perusahaannya .
Tidak hanya itu, tantangan guru lainnya juga datang dari murid atau
siswanya sendiri yang terkadang bersikap dualisme terhadap guru. Siswa
menghormati gurunya ketika ingin mendapatkan nilai baik, naik kelas dan
ingin lulus sekolah, tapi begitu kepentingan itu tidak ada,murid
terkadang bersikap acuh tak acuh terhadap guru.
Fenomena-fenomena yang menjadi tantangan guru selama ini khususnya di
Provinsi Gorontalo disatu sisi merupakan hal yang memiriskan, namun
disisi lain harus ada upaya komprehensif untuk mengeliminir berbagai
tantangan tersebut sehingga tantangan itu tidak terus menerus menjadi
beban guru yang tak pernah berkesudahan.
Siapapun mengakui bahwa guru adalah profesi mulia dan terhormat, paling
tidak mulai dari Presiden , Gubernur, Ketua DPRD, Bupati dan Walikota
terlahir dari tangan dingin seorang guru , bukankah mereka para profesor
itu juga terlahir dalam binaan seorang guru.
Dengan asumsi dan pertanyaan itu, akankah para guru terus saja
diperlakukan dengan tidak adil dan terus menerus dijadikan kambing
hitam?. Jawabannya tentu saja tidak, Guru adalah profesi yang teramat
penting bagi penentu nasib bangsa kedepan, sehingga menjadi tanggung
jawab seluruh elemen bangsa untuk berpihak dan memperhatikan nasib guru.
(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar